Showing posts with label CARTZEN PYRAMIDE. Show all posts
Showing posts with label CARTZEN PYRAMIDE. Show all posts

Thursday, October 16, 2008

Glatser Jaya wijaya

Sulit dipercaya saat melihat sebuah pemandangan salju yang berada di daerah panas karena beriklim tropis. Terlebih jika pemandangan salju itu terhampar di puncak-puncak gunung dengan dindingnya yang berwarna kehitaman.

Saat ini, salju yang tersisa hanya berada di Puncak Jaya, Meren, Northwall, dan Ngga Pulu. Sebelum berubah nama menjadi Puncak Jaya, puncak ini dahulunya bernama Carstenz Pyramide.
Puncak Jaya yang bersalju ini merupakan salah satu puncak gunung gletser yang ada di kawasan khatulistiwa, seperti puncak es lainnya yang berada di Afrika dan Amerika Selatan.
Dari udara, puncak tersebut mirip bebatuan hitam dengan permadani putih yang lembut. Saat matahari sedang bersinar cerah, hamparan salju itu memantulkan cahaya yang menyilaukan mata. Pandangan mata akan lebih nikmat saat langit sedang berawan sehingga hamparan salju itu akan memunculkan kesan kedamaian di tengah teduhnya cuaca.
Puncak dengan lereng yang sangat curam itu menampilkan pesona alam yang sulit dicari bandingannya. Dindingnya yang hitam berdiri hampir tegak lurus dengan permukaan tanah yang berada ratusan meter di bawahnya.
Pemandangan salju es sungguh memukau. Apalagi jika memasuki akhir tahun di mana musim dingin dan hujan tiba. Di musim itu, biasanya salju menutupi hampir semua puncak Pegunungan Jayawijaya hingga ke lereng di bawahnya.
Jayawijaya merupakan sebuah gunung yang juga dikenal sebagai Gunung Orange yang berada di Pulau Papua. Gunung ini memiliki ketinggian 4750 m dpl, yaitu di puncak trikora. Jayawijaya merupakan salah satu dari 5% cadangan es dunia yang berada di luar Antartika dan Greenland. Dilihat dari keberadaan gletsernya yang berada di sebuah pegunungan, maka gletser Jayawijaya merupakan bentang alam glasial tipe Alpine Glaciation. Dilihat dari tipe gletsernya, gletser Jayawijaya merupakan tipe Valley Glacier. Valley glacier merupakan gletser pada suatu lembah dan dapat mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Pada valley glacier juga terdapat anak sungai.
Dari penelitian sudah jelas ada berberapa periode zaman es kemudian ada periode hangat tapi kataklysmik tidak - semacam periodik siklus dingin kemudian panas - justru siklus panas sekerang berjalan +/- 10,000 tahun dan walaupun ada efek dari bakar hidrokarbon ini hanya mempercepat proses yang sudah berjalan selama ribuan tahun ingat 500 tahun yang lalu Carstenz bisa lihat salju diatas pergunungan dari laut; sekarang sudah mencuit supaya mungkin tingal hanya 1% dari apa yang ada dalam zaman Carstenz dan yang zaman Carstenz mungkin kurang dari 1% dari apa yang ada 10,000 tahun yang lalu.
Berkurangnya jumlah gletser yang ada di puncak jaya dapat diakibatkan oleh banyak hal. Penyebab utama lenyapnya tudung es atau es abadi pegunungan Jayawijaya itu menurut hasil penelitian para ahli gletser dan lingkungan hidup CSIRO Australia, semacam LIPI di Indonesia, disebabkan pemanasan global dan perubahan cuaca akibat perubahan iklim dunia.
Karena itu menciutnya padang es abadi itu bukan akibat kegiatan pertambangan emas dan tembaga yang sedang dilakukan PT Freeport Indonesia, sekitar 15 kilometer dari kaki pegunungan Jayawijaya, kata Kepala Departemen Lingkungan Hidup PT reeport Indonesia, Wisnu Susetyo Phd.
Karena itu gletser ini diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu lama akan mengalami nasib yang sama dengan gletser di Papua Nugini (PNG) yang lenyap akibat pemanasan global kata wisnu.
Dijelaskan dalam penelitian para pakar CSIRO selain menggunakan peralatan mutakhir juga menggunakan sinar infra merah yang peka terhadap panas sehingga terungkap bahwa penyebab utama menyusutnya luas tudung es Jayawijaya akibat pemanasan global.
Pada prinsipnya, karena perubahan suhu adalah fenomena yang tidak merata, maka kutub-kutub mengalami kenaikan suhu lebih banyak daripada kawasan ekuator; dan benua lebih meningkat suhunya dibanding kawasan samudera. Ini telah dibuktikan antara lain dengan runtuhnya “sekeping” gletser Antartika (kurang lebih sebesar Pulau Bali!) dan tercebur ke dalam Samudera Atlantik Selatan. Pencairan es di kutub-kutub menjelaskan terjadinya kenaikan permukaan air laut. Pada awal 1995 terjadi banjir pada musim dingin yang melanda berbagai kawasan Eropa Utara karena meningginya permukaan air laut. Pada musim semi sebelumnya, Cina mengalami banjir karena mencairnya salju yang lebih cepat, dan membunuh hampir 2000 jiwa.
Melelehnya es di puncak-puncak Pegunungan Alpen juga mulai menyembulkan batu-batu cadas yang selama ribuan tahun sebelumnya tersembunyi di balik salju. Di seluruh dunia pun terjadi perubahan cuaca yang ganjil. Musim dingin yang kurang dingin, tetapi kadang-kadang dikejutkan dengan badai salju yang sangat dingin. Musim kemarau yang berkepanjangan di daerah khatulistiwa dan musim hujan yang semakin tak beraturan. Dan, yang terakhir ini, fenomena El Nino. Tak usah jauh-jauh. Penduduk Jakarta bisa melihat kawasan Puncak sekarang yang tidak sehijau di masa lalu.
Untuk menyelamatkan tudung es ini pakar CSIRO Australia juga angkat tangan karena hingga saat ini belum ditemukan cara yang efektif untuk mengatasi penyusutan gletser akibat pemanasan global.
Para ahli Australia yang tertarik dengan keanehan tudung es Jayawijaya hingga sangat antusias untuk menyelamatkan salah satu objek wisata utama di Irja ini tidak mampu berbuat banyak.
Terbentuknya Gletser Di Jayawijaya
BAGI pendaki gunung, mendaki jajaran Pegunungan Jayawijaya adalah sebuah impian. Betapa tidak, pada salah satu puncak pegunungan itu terdapat titik tertinggi di Indonesia, yakni Carstensz Pyramide dengan ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Jangan heran jika pendaki gunung papan atas kelas dunia selalu berlomba untuk mendaki salah satu titik yang masuk dalam deretan tujuh puncak benua tersebut. Apalagi dengan keberadaan salju abadi yang selalu menyelimuti puncak itu, membuat hasrat kian menggebu untuk menggapainya.
Tetapi, siapa yang menyangka jika puncak bersalju itu dahulunya adalah bagian dari dasar lautan yang sangat dalam!
Pulau Papua mulai terbentuk pada 60 juta tahun yang lalu. Saat itu, pulau ini masih berada di dasar laut yang terbentuk oleh bebatuan sedimen. Pengendapan intensif yang berasal dari benua Australia dalam kurun waktu yang panjang menghasilkan daratan baru yang kini bernama Papua. Saat itu, Papua masih menyatu dengan Australia.
Keberadaan Pulau Papua saat ini, lanjutnya, tidak bisa dilepaskan dari teori geologi yang menyebutkan bahwa dunia ini hanya memiliki sebuah benua yang bernama Pangea pada 250 juta tahun lalu. Pada kurun waktu 240 juta hingga 65 juta tahun yang lalu, benua Pangea pecah menjadi dua dengan membentuk benua Laurasia dan benua Eurasia, yang menjadi cikal bakal pembentukan benua dan pegunungan yang saat ini ada di seluruh dunia.
Pada kurun waktu itu juga, benua Eurasia yang berada di belahan bumi bagian selatan pecah kembali menjadi benua Gonwana yang di kemudian hari akan menjadi daratan Amerika Selatan, Afrika, India, dan Australia.
Saat itu, benua Australia dengan benua-benua yang lain dipisahkan oleh lautan. Di lautan bagian utara itulah batuan Pulau Papua mengendap yang menjadi bagian dari Australia akan muncul di kemudian hari.
Pengendapan yang sangat intensif dari benua kanguru ini, sambungnya, akhirnya mengangkat sedimen batu ke atas permukaan laut. Tentu saja proses pengangkatan ini berdasarkan skala waktu geologi dengan kecepatan 2,5 km per juta tahun.
Proses ini masih ditambah oleh terjadinya tumbukan lempeng antara lempeng Indo-Pasifik dengan Indo-Australia di dasar laut. Tumbukan lempeng ini menghasilkan busur pulau, yang juga menjadi cikal bakal dari pulau dan pegunungan di Papua.
Akhirnya proses pengangkatan yang terus-menerus akibat sedimentasi dan disertai kejadian tektonik bawah laut, dalam kurun waktu jutaan tahun menghasilkan pegunungan tinggi seperti yang bisa dilihat saat ini.
Bukti bahwa Pulau Papua beserta pegunungan tingginya pernah menjadi bagian dari dasar laut yang dalam dapat dilihat dari fosil yang tertinggal di bebatuan Jayawijaya.
Meski berada di ketinggian 4.800 mdpl, fosil kerang laut, misalnya, dapat dilihat pada batuan gamping dan klastik yang terdapat di Pegunungan Jayawijaya. Karena itu, selain menjadi surganya para pendaki, Pegunungan Jayawijaya juga menjadi surga para peneliti geologi dunia.
Sementara terpisahnya daratan Australia dengan Papua oleh lautan berawal dari berakhirnya zaman es yang terjadi pada 15.000 tahun yang lalu. Mencairnya es menjadi lautan pada akhirnya memisahkan daratan Papua dengan benua Australia.
Masih banyak rahasia bebatuan Jayawijaya yang belum tergali. Apalagi, umur Pulau Papua ini masih dikategorikan muda sehingga proses pengangkatan pulau masih terus berlangsung hingga saat ini. Ini juga alasan dari penyebutan Papua New Guinea bagi Pulau Papua, yang artinya adalah sebuah pulau yang masih baru.
Sementara keberadaan salju yang berada di beberapa puncak Jayawijaya, diyakininya akan berangsur hilang seperti yang dialami Gunung Kilimanjaro di Tanzania. Hilangnya satu-satunya salju yang dimiliki oleh pegunungan di Indonesia itu disebabkan oleh perubahan iklim secara global yang terjadi di daerah tropis.

DI KOPAS : http://aapgscundip.wordpress.com/2008/07/22/glatser-jaya-wijaya/

Sumber:
http://www.republika.co.id/9704/15/15XSAL.094.html
http://www.antara.co.id/currissue/97/9/11/I32.html
http://www.infopapua.com/
http://www.merbabu.com/
http://en.wikipedia.org/wiki/Jayawijaya_Mountains
http://www.mail-archive.com/envorum@ypb.or.id/msg00040.html

CATATAN MAPALA UNAND

Dihadang Badai, Puncak Jaya Direngkuh

October 3rd, 2007

Wpe09068EKSPEDISI pendakian ke Carstenz Pyramid (4.884 Mdpl) di Papua yang diikuti anggota Mapala Unand, Zulfahmi bersama tim gabungan dari Mapala UI, Stekpi Jakarta, dan crew Lativi dihadang badai salju. Meski gagal mencapai puncak Carstenz di jajaran Pegunungan Jaya Wijaya itu, tepat pukul 12.00 WIT pada 17 Agustus lalu, rombongan ekspedisi ini berhasil menggapai Puncak Jaya (4.862 Mdpl).

Keberhasilan menggapai Puncak Jaya tersebut, memang diluar dugaan sebelumnya. Mengingat di awal pendakian, cuaca buruk selalu menyertai perjalanan tim ekspedisi yang dipimpin pendaki kawakan, Ripto Mulyono itu. Sehingga, jadilah Puncak Jaya sebagai pelipur lara atas kegagalan “menjamah” puncak Carstenz.

Sebagaimana dilaporkan Zulfahmi, ketika menginjakkan kakinya di Bandara Soekarno Hatta, Sabtu (27/8) lalu, kegagalan untuk menjejakkan kaki di puncak Carstenz lebih disebabkan pada faktor alam yang tak bersahabat ketimbang faktor internal tim. Dikatakannya, stamina anggota tim masih sanggup untuk meneruskan perjalanan seandainya saja badai salju itu tidak datang terus menerus. Namun karena badai salju selalu menghadang, maka diputuskanlah untuk turun kembali ke base camp di lembah Danau-danau.

“Kami sempat mengalami trouble ketika salah seorang anggota tim dari Stekpi mengalami cedera. Saya bersama Ripto dan 2 orang crew Lativi terpaksa kembali ke base camp sebagai rescue team. Di saat bersamaan, 4 orang anggota tim lainnya melanjutkan perjuangan untuk menggapai puncak tertinggi Indonesia tersebut. Dan mereka berhasil,” ucap Fahmi.

Meski gagal di pendakian pertama ke puncak salju abadi Indonesia ini, Fahmi masih patut berbangga diri. Karena kemampuan fisik dan keandalan tekniknya cukup diakui rombongan tim lainnya. Karena itu, pada 7 September mendatang dia bakal kembali bertolak ke Timika, Papua untuk mendaki puncak Carstenz bersama rombongan pendaki Amerika yang akan menyelesaikan program pendakian Seven Summit (7 puncak) di 7 benua. (max)

ARTIKEL INI BERSUMBER DI :
http://mapalaunand.com/info-carstenz/dihadang-badai-puncak-jaya-direngkuh/

CATATAN JEJAK PETUALANG




EKSPEDISI JEJAK PETUALANG TRANS 7

Tim JP (Dina, Dody, Budi, Cosmas, Giri, Bayu dan Une) bersama Tim Brimob Papua (8 orang) memulai pendakian dari mil 64 (pos Brimob) dengan mengggunakan bus dengan seluruh perbekalan dan peralatan pendakian (total sekitar 700 kg.) menuju mil 68 (Tembagapura 2500 MDPL), dilanjutkan dengan menggunakan trem (kereta gantung ke kawasan Gressberg (3500 MDPL) selama lebih kurang 10 menit, setelah turun dari trem rombongan diangkut lagi dengan bus menuju Zebra Wall diketinggian 3800 MDPL, dari Zebra Wall inilah awal dari pendakian menuju flaying camp di Danau Biru (3900 MDPL), di Danau Biru kita mendirikan tenda dan bermalam, ini dilakukan agar tubuh kami menyesuaikan dengan ketinggian yang berkadar oksigen lebih tipis, memang sebaiknya tidak terlalu cepat mencapai ketinggian tertantu, idealnya (menurut buku-buku) tiap naik 100 meter, harus bermalam 1 malam, begitu seterusnya.

Suhu mulai terasa menggerogoti tulang (siang 10C, malam 3C) apalagi bila angin berhembus... hih... malamnya hujan untung tenda dan flysheet sudah berdiri. Beberapa teman tampak terdiam mungkin akibat serangan penyakit ketinggian, aneh memang biasanya mereka ceria dan penuh canda, dari pengalaman penyakit ketinggian menyerang pendaki yang naik terlalu cepat. Baru tahu mereka hehehe...
Pagi sekali kami sudah bangun, langit tampak cerah, tidak ada awan yang menutupi, kamipun bermandikan cahaya matahari, seluruh peralatan, pakaian dan sleeping bag kami jemur biar tidak lembab dan berat ketika dibawa... setelah berkemas dan sarapan pagi, kamipun melanjutkan perjalanan menuju base camp induk Lembah Danau-Danau (4200 MDPL)...
Awal pendakian sungguh berat, pagi-pagi kami sudah disuguhi tanjakan terjal dan panjang... membuat nafas satu dua, jalan datar saja sudah menyesakan dada apalagi menanjak curam huh... namun dengan semangat 45 teman2 kru JP selangkah demi selangkah maju, deru nafas diiringi sesekali batuk mengiringi pendakian yang semakin berat... hanya tatapan mata satu dengan yg lain jadi alat komunikasi, saya hanya bisa tersenyum dan kagum dengan semangat mereka...

Pendakian ke Base Camp Induk Lembah Danau-Danau (4200 MDPL) kami mulai. Trek menanjak sangat melahkan, belum lagi tipisnya oksigen membuat teman-teman kelelahan dengan cepat. Beberapa teman yang masih merasakan penyakit ketinggian, pusing seperti ada batu di kepala tampak berjalan gontai dengan ransel bawaan yang berat. Dina dan Nomang beristirahat untuk menormalkan kembali pernafasan dan meneguk air membasahi tenggorokan. Trek menanjak di pintu angin adalah satah satu trek terberat, selain curam juga tidak mudah berjalan karena krikil dan batu yang mudah lepas. Saya melihat thermometer di jam saya yang menunjukan suhu 8 derajat celsius, dan terasa semakin dingin ketika angin berhembus, apalagi sinar matahari terhalang kabut tebal.

Setelah melalui tanjakan terjal pintu angin akhirnya kami bisa bernafas lega karena trek tidak lagi menanjak terjal, flat diselingi naik turun yang tidak berat, pemandangan danau di kiri trek cukup menghibur. Setelah berjalan selama 5 jam akhirnya kami sampai di Base Camp Induk Lembah Danau-Danau (4200 MDPL). Kami disambut teman-teman brimob dan welcome drink secangkir teh manis panas hmmm nikmatnya. Di base camp tampak berdiri 3 tenda dome dan flysheet untuk kami. Tanpa membuang waktu saya memerintahkan teman-teman untuk membuka alat komunikasi seperti antene outdoor HP satelite dan B-Gan alat untuk mengirim gambar via satelit ke kantor di Jakarta. Selain tenda kami, juga berdiri tenda-tenda lain dan dapur umum yang hangat, gimana nggak hangat ada 4 kompor minyak yang lagi menyala?

Tidak ada yang kami lakukan selain mempersiapkan peralatan pendakian gunung es dan aklimatisasi dengan hiking seputaran danau-danau, agar badan semakin menyesuaikan dengan tipisnya oksigen di ketinggian.

Pagi sekali kami sudah bangun dan kemudian sarapan. Pagi ini adalah saat yang ditunggu teman-teman, kami akan mendaki hingga gletser Puncak Jaya... pendakian gunung es sebenarnya akan kami lakukan. Awal trek belum terlalu berat, jalur tanah berkerikil membelah lembah batu, dengan tebing tinggi, dingin di kiri kanan trek. Saya masih ingat tebing batu di sisi trek dulunya masih berselimut es dan salju ketika saya mendaki untuk pertama kalinya tahun 1989, es semakin menyusut kini. Dulu hanya butuh waktu 1 jam saja ke gletser, sekarang diperkirakan akan memakan waktu sekitar 5 jam. Trek semakin sulit ketika kami harus mendaki jalur krikil dan batu yang licin, bila tidak hati-hati bisa tergelincir dan terjun bebas ke jurang! Hih...

Setelah berjalan 4,5 jam lamanya akhirnya kami sampai di gletser. Tidak terkira wajah-wajah riang teman-teman, seperti orang ndeso katro mereka berhamburan memegang es dan salju... Benar-benar kampungan hehehe... Kami tidak bisa berlama-lama menikmati pencapaian ini, karena tidak lama kemudian kabut, angin dan rintik hujan es... ya es..., kena kepala bletuk.. bletuk.. rasanya, kami pun bergegas mendirikan tenda dan flysheet. Untung kami sigap, karena beberapa menit kemudian badai pun melanda camp kami, angin kenacang, salju dan es menghantam tanpa ampun tenda kami... suhu menunjukan 0 derajat celcius !

Ditengah suhu dingin yang membekukan 3 derajat celcius pukul 6 pagi, kami semua telah bangun. Secangkir teh manis ditemani beberapa potong biscuit menjadi sarapan pagi kami. Seusai sarapan kami mempersiapkan peralatan pendakian es, seperti paku es (crampon) yang kami pasang di sepatu gunung kami, kampak es (ice axe), tongkat es (Sky pol), tali, karabiner, harness dan sebagainya.

Tebing es setinggi kurang lebih 40 meter membentang dihadapan kami. Belum apa-apa dingin yang dihembuskan angina dari tebing es situ menerpa wajah kami, seperti kalau kita membuka freezer hih... pipi dan hidung ini langsung disergap dingin yang menusuk. Sebagai pemanjat pertama (leader) adalah Giri diamankan oleh seutas tali dibawahnya oleh Une. Semeter demi semeter Giri menambah ketinggian. Kampak esnya terdengar menancap pada es yang keras disusul kemudian tendangan cramoonnya di tebing es untuk memperkokoh posisi berdiri. Akhirnya Giri sampai di sebuah teras yang cukup aman untuk membuat tambat pengaman. Tali pun diulur dan satu demi satu pendaki lainnya memanjat dengan menggunakan jummar, pertama adalah Budi kamerawan untuk bisa mengambil gambar dari atas, disusul kemudian saya, Dina dan terakhir Deni . Dina mencoba memanjat es dengan cara ice climbing seperti Giri diamankan oleh tali. Pemanjat terakhir adalah Deni yang sesampainya di teras kedua dilanjutkan dengan tahapan pemanjatan 20 meter berikutnya.

Setelah sesampainya di hamparan es yang datar, maka tali pun dibentang menghubungkan satu pendaki dengan pendaki lainnya (moving together). Ini merupakan teknik berjalan di padang es yang aman. Karena bisa saja salah satu pendaki terperosok ke jurang es, namun tali akan menahan pendaki tersebut. Selangkah demi selangkah para pendaki menapaki es yang keras dan dingin. Dina berusaha keras untuk tetap melangkah, sesekali talinya menegang ketika harus berhenti menarik nafas dan batuk karena sesak nafas. Kabut dan salju yang turun menambah tebal padang es, sehingga memberatkan langkah kami. Udara dingin menerobos, winbreaker dan sweater yang kami pakai, sarung tangan wol berlapis mitten pun hampir tidak bisa menahan dingin, membuat jemari tangan kebas dan kaku, begitu juga dengan jari kaki. Saya perintahkan teman-teman untuk mempercepat langkah, karena saya khawatir kami akan terserang radang dingin (frostbite) apalagi angin semakin kencang dan hujan salju semakin deras turun.

Langkah kami semakain berat karena salju tebal kami injak. Deni tampak berjalan berhati-hati, dia menusukan kampak esnya ke es, mencari jalan es yang keras, sementara disisi kami jurang es yang tidak berdasar menganga siap menelan kami bulat-bulat. Detak jantung saya bedertak kencang ketika Dina terjatuh karena gagal melompati parit es yang keras, untuk tali menahan tubuhnya sehingga dia tidak meluncur jatuh ke jurang. Dengan perlahan Dina berusaha bangkit dan kembali berjalan.

Setelah 3 jam berjuang akhirnya kami sampai di tempat teritinggi, datar, terbuka dan tidak ada lagi gundukan es yang lebih tinggi... puncak! Akhirnya sampai juga perjuangan 10 hari lamanya kami sampai di puncak Jaya di ketinggian 4860 meter dari permukaan laut. Kami pun bersorak dan berangkulan gembira karena telah melalui ujian berat yang melelahkan. Berkejaran dengan kabut yang turun dan angin yang semakin kencang, kami pun berfoto-foto kemudian turun ke base camp di gletser. Terimakasih Tuhan. (TAMAT)

Keterangan Lebih Lanjut Silakan Klik
http://jejakpetualang.multiply.com/photos/album/33/Oleh-oleh_Ekspedisi_Jaya_Wijaya
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” (Soe Hok Gie)