Thursday, October 16, 2008

CATATAN JEJAK PETUALANG




EKSPEDISI JEJAK PETUALANG TRANS 7

Tim JP (Dina, Dody, Budi, Cosmas, Giri, Bayu dan Une) bersama Tim Brimob Papua (8 orang) memulai pendakian dari mil 64 (pos Brimob) dengan mengggunakan bus dengan seluruh perbekalan dan peralatan pendakian (total sekitar 700 kg.) menuju mil 68 (Tembagapura 2500 MDPL), dilanjutkan dengan menggunakan trem (kereta gantung ke kawasan Gressberg (3500 MDPL) selama lebih kurang 10 menit, setelah turun dari trem rombongan diangkut lagi dengan bus menuju Zebra Wall diketinggian 3800 MDPL, dari Zebra Wall inilah awal dari pendakian menuju flaying camp di Danau Biru (3900 MDPL), di Danau Biru kita mendirikan tenda dan bermalam, ini dilakukan agar tubuh kami menyesuaikan dengan ketinggian yang berkadar oksigen lebih tipis, memang sebaiknya tidak terlalu cepat mencapai ketinggian tertantu, idealnya (menurut buku-buku) tiap naik 100 meter, harus bermalam 1 malam, begitu seterusnya.

Suhu mulai terasa menggerogoti tulang (siang 10C, malam 3C) apalagi bila angin berhembus... hih... malamnya hujan untung tenda dan flysheet sudah berdiri. Beberapa teman tampak terdiam mungkin akibat serangan penyakit ketinggian, aneh memang biasanya mereka ceria dan penuh canda, dari pengalaman penyakit ketinggian menyerang pendaki yang naik terlalu cepat. Baru tahu mereka hehehe...
Pagi sekali kami sudah bangun, langit tampak cerah, tidak ada awan yang menutupi, kamipun bermandikan cahaya matahari, seluruh peralatan, pakaian dan sleeping bag kami jemur biar tidak lembab dan berat ketika dibawa... setelah berkemas dan sarapan pagi, kamipun melanjutkan perjalanan menuju base camp induk Lembah Danau-Danau (4200 MDPL)...
Awal pendakian sungguh berat, pagi-pagi kami sudah disuguhi tanjakan terjal dan panjang... membuat nafas satu dua, jalan datar saja sudah menyesakan dada apalagi menanjak curam huh... namun dengan semangat 45 teman2 kru JP selangkah demi selangkah maju, deru nafas diiringi sesekali batuk mengiringi pendakian yang semakin berat... hanya tatapan mata satu dengan yg lain jadi alat komunikasi, saya hanya bisa tersenyum dan kagum dengan semangat mereka...

Pendakian ke Base Camp Induk Lembah Danau-Danau (4200 MDPL) kami mulai. Trek menanjak sangat melahkan, belum lagi tipisnya oksigen membuat teman-teman kelelahan dengan cepat. Beberapa teman yang masih merasakan penyakit ketinggian, pusing seperti ada batu di kepala tampak berjalan gontai dengan ransel bawaan yang berat. Dina dan Nomang beristirahat untuk menormalkan kembali pernafasan dan meneguk air membasahi tenggorokan. Trek menanjak di pintu angin adalah satah satu trek terberat, selain curam juga tidak mudah berjalan karena krikil dan batu yang mudah lepas. Saya melihat thermometer di jam saya yang menunjukan suhu 8 derajat celsius, dan terasa semakin dingin ketika angin berhembus, apalagi sinar matahari terhalang kabut tebal.

Setelah melalui tanjakan terjal pintu angin akhirnya kami bisa bernafas lega karena trek tidak lagi menanjak terjal, flat diselingi naik turun yang tidak berat, pemandangan danau di kiri trek cukup menghibur. Setelah berjalan selama 5 jam akhirnya kami sampai di Base Camp Induk Lembah Danau-Danau (4200 MDPL). Kami disambut teman-teman brimob dan welcome drink secangkir teh manis panas hmmm nikmatnya. Di base camp tampak berdiri 3 tenda dome dan flysheet untuk kami. Tanpa membuang waktu saya memerintahkan teman-teman untuk membuka alat komunikasi seperti antene outdoor HP satelite dan B-Gan alat untuk mengirim gambar via satelit ke kantor di Jakarta. Selain tenda kami, juga berdiri tenda-tenda lain dan dapur umum yang hangat, gimana nggak hangat ada 4 kompor minyak yang lagi menyala?

Tidak ada yang kami lakukan selain mempersiapkan peralatan pendakian gunung es dan aklimatisasi dengan hiking seputaran danau-danau, agar badan semakin menyesuaikan dengan tipisnya oksigen di ketinggian.

Pagi sekali kami sudah bangun dan kemudian sarapan. Pagi ini adalah saat yang ditunggu teman-teman, kami akan mendaki hingga gletser Puncak Jaya... pendakian gunung es sebenarnya akan kami lakukan. Awal trek belum terlalu berat, jalur tanah berkerikil membelah lembah batu, dengan tebing tinggi, dingin di kiri kanan trek. Saya masih ingat tebing batu di sisi trek dulunya masih berselimut es dan salju ketika saya mendaki untuk pertama kalinya tahun 1989, es semakin menyusut kini. Dulu hanya butuh waktu 1 jam saja ke gletser, sekarang diperkirakan akan memakan waktu sekitar 5 jam. Trek semakin sulit ketika kami harus mendaki jalur krikil dan batu yang licin, bila tidak hati-hati bisa tergelincir dan terjun bebas ke jurang! Hih...

Setelah berjalan 4,5 jam lamanya akhirnya kami sampai di gletser. Tidak terkira wajah-wajah riang teman-teman, seperti orang ndeso katro mereka berhamburan memegang es dan salju... Benar-benar kampungan hehehe... Kami tidak bisa berlama-lama menikmati pencapaian ini, karena tidak lama kemudian kabut, angin dan rintik hujan es... ya es..., kena kepala bletuk.. bletuk.. rasanya, kami pun bergegas mendirikan tenda dan flysheet. Untung kami sigap, karena beberapa menit kemudian badai pun melanda camp kami, angin kenacang, salju dan es menghantam tanpa ampun tenda kami... suhu menunjukan 0 derajat celcius !

Ditengah suhu dingin yang membekukan 3 derajat celcius pukul 6 pagi, kami semua telah bangun. Secangkir teh manis ditemani beberapa potong biscuit menjadi sarapan pagi kami. Seusai sarapan kami mempersiapkan peralatan pendakian es, seperti paku es (crampon) yang kami pasang di sepatu gunung kami, kampak es (ice axe), tongkat es (Sky pol), tali, karabiner, harness dan sebagainya.

Tebing es setinggi kurang lebih 40 meter membentang dihadapan kami. Belum apa-apa dingin yang dihembuskan angina dari tebing es situ menerpa wajah kami, seperti kalau kita membuka freezer hih... pipi dan hidung ini langsung disergap dingin yang menusuk. Sebagai pemanjat pertama (leader) adalah Giri diamankan oleh seutas tali dibawahnya oleh Une. Semeter demi semeter Giri menambah ketinggian. Kampak esnya terdengar menancap pada es yang keras disusul kemudian tendangan cramoonnya di tebing es untuk memperkokoh posisi berdiri. Akhirnya Giri sampai di sebuah teras yang cukup aman untuk membuat tambat pengaman. Tali pun diulur dan satu demi satu pendaki lainnya memanjat dengan menggunakan jummar, pertama adalah Budi kamerawan untuk bisa mengambil gambar dari atas, disusul kemudian saya, Dina dan terakhir Deni . Dina mencoba memanjat es dengan cara ice climbing seperti Giri diamankan oleh tali. Pemanjat terakhir adalah Deni yang sesampainya di teras kedua dilanjutkan dengan tahapan pemanjatan 20 meter berikutnya.

Setelah sesampainya di hamparan es yang datar, maka tali pun dibentang menghubungkan satu pendaki dengan pendaki lainnya (moving together). Ini merupakan teknik berjalan di padang es yang aman. Karena bisa saja salah satu pendaki terperosok ke jurang es, namun tali akan menahan pendaki tersebut. Selangkah demi selangkah para pendaki menapaki es yang keras dan dingin. Dina berusaha keras untuk tetap melangkah, sesekali talinya menegang ketika harus berhenti menarik nafas dan batuk karena sesak nafas. Kabut dan salju yang turun menambah tebal padang es, sehingga memberatkan langkah kami. Udara dingin menerobos, winbreaker dan sweater yang kami pakai, sarung tangan wol berlapis mitten pun hampir tidak bisa menahan dingin, membuat jemari tangan kebas dan kaku, begitu juga dengan jari kaki. Saya perintahkan teman-teman untuk mempercepat langkah, karena saya khawatir kami akan terserang radang dingin (frostbite) apalagi angin semakin kencang dan hujan salju semakin deras turun.

Langkah kami semakain berat karena salju tebal kami injak. Deni tampak berjalan berhati-hati, dia menusukan kampak esnya ke es, mencari jalan es yang keras, sementara disisi kami jurang es yang tidak berdasar menganga siap menelan kami bulat-bulat. Detak jantung saya bedertak kencang ketika Dina terjatuh karena gagal melompati parit es yang keras, untuk tali menahan tubuhnya sehingga dia tidak meluncur jatuh ke jurang. Dengan perlahan Dina berusaha bangkit dan kembali berjalan.

Setelah 3 jam berjuang akhirnya kami sampai di tempat teritinggi, datar, terbuka dan tidak ada lagi gundukan es yang lebih tinggi... puncak! Akhirnya sampai juga perjuangan 10 hari lamanya kami sampai di puncak Jaya di ketinggian 4860 meter dari permukaan laut. Kami pun bersorak dan berangkulan gembira karena telah melalui ujian berat yang melelahkan. Berkejaran dengan kabut yang turun dan angin yang semakin kencang, kami pun berfoto-foto kemudian turun ke base camp di gletser. Terimakasih Tuhan. (TAMAT)

Keterangan Lebih Lanjut Silakan Klik
http://jejakpetualang.multiply.com/photos/album/33/Oleh-oleh_Ekspedisi_Jaya_Wijaya
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” (Soe Hok Gie)