Monday, April 18, 2011

Sebuah Piring Kayu

Sebuah Piring Kayu
Disebuah keluarga, ada
seorang kakek tua yang
hidup bersama anak,
menantu dan seorang
cucu laki-laki.
Penglihatan si kakek
sudah kabur. Ia sudah
tidak dapat mendengar
dengan baik. Lututnya
sudah mulai bergetar.
Jika ia duduk dekat meja
makan, ia tidak dapat
lagi memegang sendok.
Kadang-kadang ia lupa
pula sup di atas taplak
meja. Dari dalam
mulutnya selalu saja sup
itu mengalir lagi keluar.
Anak laki-laki dan
menantu perempuannya
merasa jijik dengan hal
itu. Oleh sebab itu kakek
tua itu akhirnya duduk
sendirian di sudut, di
belakang sebuah tungku
api. Mereka memberi
makan hanya dengan
mangkok yang kecil. Ia
sering tidak mendapat
makan dan minum yang
cukup dan tentu saja ia
tetap
lapar dan haus. Ia
melihat apa saja yang
ada di meja makan
dengan sedih,
selanjutnya keluarlah air
matanya.
Suatu ketika jemarinya
yang sudah tua tidak
dapat lagi memegang
mangkuk. Mangkuk itu
jatuh dan pecah.
Menantu perempuannya
mengumpat dan
mencaci-maki. Tapi,
kakek tua itu tidak
berkata sedikit pun. Ia
membiarkan
semuanya terjadi. Lalu
Menantunnya itu
membelikannya sebuah
piring yang terbuat dari
kayu dengan harga yang
tidak terlalu mahal. Kini
dengan piring kayu itu
kakek tua itu harus
makan. Piring kayu ini
dapat membuat si kakek
tua lebih tenang karena
tidak dapat pecah.
Suatu hari cucunya yang
masih berumur empat
tahun mengumpulkan
batang-batang kayu di
tanah.
"Apa yang sedang kamu
buat, Nak ?" tanya
ayahnya.
"Saya sedang membuat
sebuah piring kayu ,"
jawab anaknya polos,
"dengan piring ini ayah
dan ibu akan makan, jika
nanti saya sudah besar."
Sejurus kemudian ayah
dan ibunya saling
bertatapan dan mereka
mulai menangis. Sejak
kejadian itu mereka
selalu memapah sang
kakek tua ke meja
makan, untuk makan
bersama. Jika ia lapar
atau haus, mereka
segera membawakan
makanan dan minuman
untuknya. Mereka tidak
berkata apa-apa, ketika
sedikit saja makanan
atau minuman tumpah
ke lantai.***"
Semoga cerita ini bisa
menjadi pengingat bagi
kita, bahwa seberapa
menjengkelkan,
menyebalkan bahkan
lebih buruk dari itu
perasaan kita thd orang
tua kita.....ketahuilah
bahwa mereka-lah orang
yang telah melahirkan
kita

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” (Soe Hok Gie)