Monday, April 18, 2011

Garam dan Telaga

Suatu ketika, hiduplah
seorang tua yang bijak.
Pada suatu pagi,
datanglah seorang anak
muda yang sedang
dirundung banyak
masalah.
Langkahnya gontai dan
air muka yang ruwet.
Pemuda itu, memang
tampak seperti orang
yang tak bahagia.
Pemuda itu
menceritakan semua
masalahnya. Pak Tua
yang bijak
mendengarkan dengan
seksama. Beliau lalu
mengambil segenggam
garam dan segelas air.
Dimasukkannya garam
itu ke dalam gelas, lalu
diaduk perlahan.
"Coba, minum ini, dan
katakan bagaimana
rasanya, "ujar Pak tua
itu.
"Asin. Asin sekali, "jawab
sang tamu, sambil
meludah kesamping.
Pak Tua tersenyum kecil
mendengar jawaban itu.
Beliau lalu mengajak
sang pemuda ke tepi
telaga di dekat tempat
tinggal Beliau. Sesampai
di tepi telaga, Pak Tua
menaburkan segenggam
garam ke dalam telaga
itu.
Dengan sepotong kayu,
diaduknya air telaga itu.
"Coba, ambil air dari
telaga ini dan
minumlah." Saat pemuda
itu selesai mereguk air
itu, Beliau bertanya,
"Bagaimana rasanya?"
"Segar," sahut sang
pemuda.
"Apakah kamu
merasakan garam di
dalam air itu?" tanya
Beliau lagi.
"Tidak," jawab si anak
muda.
Dengan lembut Pak Tua
menepuk-nepuk
punggung si anak muda.
"Anak muda, dengarlah.
Pahitnya kehidupan,
adalah layaknya
segenggam garam tadi,
tak lebih dan tak kurang.
Jumlah garam yang
kutaburkan sama, tetapi
rasa air yang kau
rasakan berbeda.
Demikian pula kepahitan
akan kegagalan yang
kita rasakan dalam hidup
ini, akan sangat
tergantung dari wadah
yang kita miliki.
Kepahitan itu, akan
didasarkan dari perasaan
tempat kita meletakkan
segalanya. Itu semua
akan tergantung pada
hati kita. Jadi, saat kamu
merasakan kepahitan
dan kegagalan dalam
hidup, hanya ada satu hal
yang bisa kamu lakukan.
Lapangkanlah dadamu
menerima semuanya.
Luaskanlah hatimu untuk
menampung setiap
kepahitan itu."
Beliau melanjutkan
nasehatnya. "Hatimu
adalah wadah itu.
Perasaanmu adalah
tempat itu. Kalbumu
adalah tempat kamu
menampung segalanya.
Jadi, jangan jadikan
hatimu itu seperti gelas,
buatlah laksana telaga
yang mampu meredam
setiap kepahitan itu dan
merubahnya menjadi
kesegaran dan
kebahagiaan.""

“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” (Soe Hok Gie)