Menjadi Pencinta Alam Sejati
Hidup adalah soal keberanian. Keberanian menghadapi
tanda tanya tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa
mengelak. Terimalah dan Hadapilah (Soe Hok Gie)
Gila! Barangkali itulah anggapan sebagian orang bila
memandang sekelompok pemuda yang menghabiskan waktunya
di lereng dan puncak gunung, di kedalaman gua-gua
bumi, atau di kedalaman samudera. Wajah mereka lusuh,
kumal, gondrong, dan tak jarang tampil nyentrik dan
nyeleneh. Bila ada manusia yang mau mengenakan
klenengan sapi, barangkali hanya merekalah orangnya.
Itulah wajah pecinta alam. Sesuai namanya, mereka
menamakan dirinya manusia yang mencintai alam baik
gunung, laut, bukit, gua, padang belantara, dan
sebagainya. Tahukah kamu bagaimana semua itu bisa
terjadi?
Dirunut-runut sih sebetulnya sejarah manusia tidak
jauh-jauh amat dari alam. Sejak zaman prasejarah
dimana manusia berburu dan mengumpulkan makanan, alam
adalah "rumah" mereka. Gunung adalah sandaran kepala,
padang rumput adalah tempat mereka membaringkan tubuh,
dan gua-gua adalah tempat mereka bersembunyi.
Namun sejak manusia menemukan kebudayaan, yang katanya
lebih "bermartabat", alam seakan menjadi barang aneh.
Manusia mendirikan rumah untuk tempatnya bersembunyi.
Manusia menciptakan kasur untuk tempatnya membaringkan
tubuh, dan manusia mendirikan gedung bertingkat untuk
mengangkat kepalanya. Manusia dan alam akhirnya
memiliki sejarahnya sendiri-sendiri.
Ketika keduanya bersatu kembali, itulah saatnya
sejarah pecinta alam dimulai.
Pada tahun 1492 sekelompok orang Perancis di bawah
pimpinan Anthoine de Ville mencoba memanjat tebing
Mont Aiguille (2097 m), dikawasan Vercors Massif. Saat
itu belum jelas apakah mereka ini tergolong pendaki
gunung pertama. Namun beberapa dekade kemudian,
orang-orang yang naik turun tebing-tebing batu di
Pegunungan Alpen adalah para pemburu chamois, sejenis
kambing gunung. Barangkali mereka itu pemburu yang
mendaki gunung. Tapi inilah pendakian gunung yang
tertua pernah dicatat dalam sejarah.
Di Indonesia, sejarah pendakian gunung dimulai sejak
tahun 1623 saat Yan Carstensz menemukan "Pegunungan
sangat tinggi di beberapa tempat tertutup salju" di
Papua. Nama orang Eropa ini kemudian digunakan untuk
salah satu gunung di gugusan Pegunungan Jaya Wijaya
yakni Puncak Cartensz.
Pada tahun 1786 puncak gunung tertinggi pertama yang
dicapai manusia adalah puncak Mont Blanc (4807 m) di
Prancis. Lalu pada tahun 1852 Puncak Everest setinggi
8840 meter ditemukan. Orang Nepal menyebutnya
Sagarmatha, atau Chomolungma menurut orang Tibet
Puncak Everest berhasil dicapai manusia pada tahun
1953 melalui kerjasama Sir Edmund Hillary dari
Selandia Baru dan Sherpa Tenzing Norgay yang tergabung
dalam suatu ekspedisi Inggris. Sejak saat itu,
pendakian ke atap-atap dunia pun semakin ramai.
Di Indonesia sejarah pecinta alam dimulai dari kampus
pada era tahun 1970-an. Pada saat itu kegiatan politik
praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK
028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan
Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Para mahasiswa
itu, diawali dengan berdirinya Mapala Universitas
Indonesia di era yang sama, membuang energi mudanya
dengan merambah alam mulai dari lautan sampai ke
puncak gunung.
Sejak itulah pecinta alam pun merambah tak hanya
kampus, melainkan ke sekolah-sekolah, ke bilik-bilik
rumah ibadah, sudut-sudut perkantoran atau
kampung-kampung. Semua yang pernah menjejakkan kaki di
puncak gunung sudah merasa sebagai pecinta alam.
Dan pecinta alampun merambah Shine sejak awalnya
berdiri. Dimulai dari puncak Gunung Bromo pada tahun
1997, Shine pun sudah sampai ke Puncak Semeru, Gunung
Gede, Gunung Sindoro, Gunung Merbabu, Gunung Salak,
Gunung Lawu, dan Merapi. Shine pun pernah merambah
kawasan pantai di Pelabuhan Ratu, Pulau Seribu, dan
Ngarai Sianok di Bukit Tinggi.
Seperti ucapan Soe Hok Gie di awal tulisan ini,
prinsip seorang pecinta alam itu barangkali adalah
memiliki keberanian untuk menghadapi tanda tanya tanpa
kita bisa mengerti, tanpa kita bisa mengelak melainkan
menerima dan menghadapi. Itulah mengapa tak jarang
menjadi pecinta alam juga membuat kita menghadapi
resiko kematian. Gie adalah salah satu korbannya.
Sebahaya itukah menjadi pecinta alam? Bisa ya dan bisa
tidak. Bagi pecinta alam sejati, alam adalah sebuah
rahasia atau misteri. Sebuah coretan di Gunung Lawu
baru-baru ini mengatakan, "Jangan menjadikan alam
tantangan". Bisa jadi ada benarnya. Semakin pecinta
alam merasa bahwa alam adalah tantangan maka semakin
alam menjadi seperti musuh yang harus ditaklukkan.
Padahal, alam bukan musuh. Alam itu seperti garbha
grha di sebuah candi. Ibarat rahim ibu, tempat kita
lahir. Di dalamnya termaktub rahasia kehidupan, sejak
asal mula, sampai kepada kematian. Bagaimana kita
mengetahui rahasianya selain menceburkan diri dan
mencintainya? Inilah hakekat pecinta alam sejati.
deddy sinaga (dari berbagai sumber
Tuesday, October 14, 2008
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” (Soe Hok Gie)